KORUPSI DI INDONESIA
Abstrak
Korupsi merupakan permasalahan
budaya di Indonesia. Komunikasi politik diIndonesia menjadi bagian tak
terpisahkan dari praktik korupsi. Bentuk komunikasipolitik yang berkonteks
tinggi, penekanan pada hubungan personal dari padasubstansi, dan dominasi
kelisanan atas literasi menjadi katalisator bagi praktik korupsi. Bentuk
komunikasi politik ini dapat dilacak kembali dari kesejarahanbangsa
Indonesia.Makalah ini bertujuan untuk memetakan kesejarahan komunikasi politik
diIndonesia dalam relasinya dengan praktik korupsi. Arkeologi pengetahuan
terhadappraktik dan wacana komunikasi politik pada kesejarahan di Indonesia
digunakansebagai metode dalam menyingkapkan lapisan-lapisan pengetahuan dan
kuasa yangmembentuk subjek koruptor di Indonesia. Wacana pemerintahan dari
catatankesejarahan prakolonial, kolonial, hingga lahirnya Negara modern
Indonesiamerupakan data utama dalam makalah ini.Dari hasil analisis
kesejarahan, bentuk kepemerintahan patrimonial prebendalismeyang kontinu dalam
kesejarahan Indonesia hingga saat ini merupakan dasar bagipraktik korupsi.
Pemahaman upeti, hadiah, dan tanda loyalitas menjadi kaburbatasannya dalam
praktik pemerintahan dan politik modern yang menyebabkanlahirnya
praktik-praktik korupsi. Hal ini ditambah dengan bentuk komunikasipolitik yang
lebih mengutamakan relasi personal dari pada prinsip birokrasimodern yang tidak
humanis. Kerangka budaya lisan juga berkontribusi dalampraktik korupsi modern
di Indonesia dalam perspektif komunikasi politik.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakangMasalah
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak
dipublikasikan di media massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini
mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya
oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah
merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan
hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak
korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia
dan upaya untuk memberantasnya.
1.2 RumusanMasalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang kami angkat adalah
sebagai berikut :
a) Apa
yang dimaksud dengan korupsi?
b) Apasajakah Bentuk,
jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, dampak serta langkah-langkah pemeberantasan
korupsi?
c) Bagaimana
gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ?
d) Bagaimana
persepsi masyarakat tentang korupsi ?
e) Bagaimana
fenomena korupsi di Indonesia ?
f) Bagaimana
peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi ?
g) Upaya
apa yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi ?
1.3 Tujuan
Adapuntujuandapipenyusunanmakalahiniadalahsebagaiberikut
:
a) Mengetahuipengertiandarikorupsi.
b) Mengetahui Bentuk,
jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, dampak serta langkah-langkah pemeberantasan
korupsi
c) Mengetahui
gambaran umum tentang korupsi yang ada di Indonesia.
d) Mengetahui
persepsi masyarakat tentang korupsi.
e) Mengetahui
fenomena korupsi di Indonesia.
f) Mengetahui
peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
g) Mengetahui
upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
1.4
Landasan Teori
Dalam melihat hubungan antara
korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini, akan dibahas
pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.
- Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi
berasal dari bahasa Latin,
yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere
yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau
keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau
menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara
harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara
intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan
sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery (Lihat “Corrupt
| Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com.
Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada begitu banyak
pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli. Huntington
(1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan
untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku
tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini
maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi,
politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga
tidak memainkan peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat
dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik
(Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S. (1967) dalam
“Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku
yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang
dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi,
seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam sebuah makalah
berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi
menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas
hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan
sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan
terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran
rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption),
yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur,
menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak
tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan
masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic
corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga:
anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.
Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri
sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan
oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
- Kekuasaan
Kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya
seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua
organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)
Kekuasaan sosial adalah kemampuan
untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan
member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat
dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu
masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh kekuasaan yang
satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini
menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa
dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai (op cit.,
h.36)
Kekuasaan politik adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya
mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan
sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya
ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk
mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
- White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar
crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku
dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur
pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini,
menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok
orang-orang terhormat.
Atas dasar pengertian di atas,
tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat
dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu
dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu
tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh
penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan
erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar
criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang
terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar yang
dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat.
Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur
General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker,
yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji
yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan
administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat Sutherland, 1949:
9, catatan kaki 7)
Pelanggaran-pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan
wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan
jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan
negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi
praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang
menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan
terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk
kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan
perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal
loging).
Terdapat dua kategori kejahatan
dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973),
yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior.
Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan
Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu
perbuatan yang dilakukan:
-
Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-
Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-
Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-
Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
-
Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar
crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,.
Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-
Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad
hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan
kebangkrutan dan lain-lain;
-
Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang
mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam
bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank
lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-
Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis,
misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan,
dan obat-obatan;
-
White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep
ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan
pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa,
2010: 28)
Ketentuan tipologi yang pertama
dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan
ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan
oleh organisasi.
- Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat
dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai
tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami
melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai
organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan
tingkah laku yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi
ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan
oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat
tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal
industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati
pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)
Di dalam korporasi, terdapat
jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak
bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini
menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang
membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum.
Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif
korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara
tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah
merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid., h.44)
- Differential Association.
Differential Association adalah sebuah
teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang
dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa
perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki
perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang
berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan
ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku menyimpang.
Sutherland memberikan 9 prinsip
dari teori Differential Association, yaitu:
1)
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2)
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan
orang lain melalui proses komunikasi
3)
Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman,
teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4)
Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik,
tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)
Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)
Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa
dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada
tidak melanggar hukum.
7) Differential
association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)
Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam
pembelajaran lainnya.
9)
Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan
sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh
kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh
kebutuhan umum dan sikap sama.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PengertianKorupsi
Korupsiberasaldaribahasalatin corruption yaitudari kata
kerjacorrumpere yang bermaknabusuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok.secarahaflah, korupsidiartikansebagaiperilakupejabatpublik,
baikpolitikus/politisimaupunpegawinegeri, yang secaratidakwajardantidak legal
memeperkayadiriataumemperkayamereka yang dekatdengannya,
denganmenyalahguakanpublik yang dipercayakankepadamereka.
1. Bentukdanjeniskorupsi
MochtarLubismembedakankorupsidalamtigajenisyaitusebagaiberikut
a. Penyuapan, apabilaseorangpengusahamenawarkanuangataujasa
lain kepadaseseorangatauaparatnegarauntuksuatujasabagipemberiuang
b. Pemerasan, apabila orang yang
memegangkekuasaanmenuntutmembayaruangataujasa lain
sebagaigantiatasimbalbalikfasilitas yang diberikan.
c. Pencurian, apabila orang yang
berkuasamenyalahgunakankekuasaandanmencurihartarakyat,
langsungatautidaklangsung.
Adapun
Syed Hussein Alatasmenyebutkantigatipefenomenadalamkorupsiyaitupenyuapan,
pemerasandannepotisme.
2. Ciri-ciriKorupsi
Menurut
Syed Hussein Alatas, ciri-cirikorupsiadalahsebagaiberikut.
a. Korupsisenantiasamelibatkanlebihdaisatu orang
b. Korupsipadaumumnyamelibatkankeserbarahasiaan.
c. Korupsimelibatkanelemenkewajibandankeuntungantimbalbalik.
d. Mereka yang
mempraktikkancara-carakorupsibiasanyaberusahamenyelubungiperbuatannyadenganberlindungdibalikpembenaranhukum.
e. Mereka yang terlibatkorupsiadalahmereka yang
menginginkankeputusan-keputusan yang tegasdanmereka yang
mampuuntukmemengaruhikeputusan-keputusanitu.
f. Setiaptindakankorupsimengandungpenipuan,
biasanyapadabadanpublikataumasyarakatumum.
g. Setiapbentukkorupsiadalahsuatupenghianatankepercayaan.
3. Sebab-sebabKorupsi
Menurut
Syed Hussein Alatasantaralain :
a. Kelangkaanlingkungan yang suburuntukperilakuantikorupsi
b. Kemiskinan
c. Kurangnyapendidikan
d. Tiadanyatindakhukum yang tegas
e. Strukturpemerintah
f. Perubahanradikal
g. Kelemahanpengajaran-pengajaran agama danetika
h. Keadaanmasyarakat.
4. DampakKorupsi
BidangKehidupan
|
DampakKorupsi
|
Hukum
|
a. Sistemhukumtidaklagiberdasarkanpadaprinsip-prinsipkeadailanhukum
b. Besarnyapeluangeksekutifmencampuribadanperadilan.
c. Hilangnyakepastianhukumdan rasa keadilanmasyarakat
d. Sistemhukumdanperadilandapatdikendalikandenganuang
e. Hilangnyaperlindunganhukumterhadaprakyatterutamarakyatmiskin
f. Peradilandankepastianhukummenjadibertele-telekarenadisalahgunakanolehaparatpenegakhukum.
|
Politik
|
a. Terpusatnyakekuasaanpadapejabatnegaratertentu
(pemeritahpusat)
b. Daerah
danpemerintahdaerahsangatbergantungpadapemerintahpusat.
c. Lemahnyasikapdanmoralitasparapenyelenggaranegara
d. Terhambatnyakaderisasidanpengembangansumberdayamanusiaindonesia.
e. Terjadinyaketidakstabilanpolitikkarenarakyattidakpercayaterhadappemerintah.
f. Diabaikannyapembangunannasionalkarenapenyelenggaranegaradisibukkandenganmembuatkebijakanpopilisbukanrealistis.
|
Ekonomi
|
a. Pembangunan dansumber-sumberekonomidikuasai orang yang
berada di lingkarankekuasaan.
b. Munculnyaparapengusaha yang
mengandalkankebijakanpemerintahbukanberdasarkankemandirian.
c. Rapuhnyadasarekonominasionalkarenapertumbuhanekonomibukandidasarkanpadakondisisebenarnya
d. Munculnyaparakonglomerat yang tidakmemiliki basis
ekonomikerakyatan.
e. Munculnyaspekulanekonomi yang
menjatuhkanekonomisecarakeseluruhan
f. Hilangnyanilaimoralitasdalamberusaha,
yakniditerapkannyasistemekonomikapitalis yang
sangatmerugikanpengusahamenengahdankecil.
g. Terjadinyatindakpencucianuang
|
SosialBudaya
|
a. Hilangnyanilai-nilai moral sosial
b. Hilangnyafigurpemimpindancontohteladandalamkehidupanberbangsadanbernegara
c. Berkurangnyatindakanmenjunjungtinggihukum,
berkurangnyakepeduliandankesetiakawanan
d. Lunturnyanilai-nilaibudayabangsa.
|
5. Langkah-langkahPemberantasanKorupsi
Upaya yang
dapatdilakukandenganlangkah-langkah :
a. Pemberlakuanberbagai UU yang mempersempitpeluangkorupsi
b. Pembentukanberbagailembaga yang diperlukanuntukmencegahkorupsi
c. Pelaksanaansistemrekruitmenaparatsecaraadildanterbuka
d. Peningkatankualitaskerjaberbagailembagaindependenmasyarakatuntukmemantaukinerjaparapenyelenggaranegara
e. Pemberiangajidankesejahteraanpegawai yang memadai.
Cara yang
kedua yang ditempuhuntukmenindaklanjutikorupsiadalah :
a. Pemberianhukumsecarasosialdalambentukisolasikepadaparakoruptor
b. Penndakansecarategasdankonsistenterhadapsetiapaparathukum
yang bersikaptidaktegasdanmeloloskankoruptordarijerathukum
c. Penindakansecarategastanpadiskriminasisesuaidenganperaturanperundang-undangan
yang berlakuterhadapparapelakukorupsi
d. Memberikantekananlangsungkepadapemerintahdanlembaga-lembagapenegakhukumuntuksegeramemprosessecarahukumparapelakukorupsi.
Salah
satulangkahnyatadalamupayapemberantasankorupsisecararepresifadalahdenganditetapkannya
UU No. 46 Tahun 2003 tentangPengendalianTindakPidanaKorupsi.Hakim
dalampengadilantindakPidanaKorupsiterdiridari hakim ad hoc yang
persyaratandanpemilihansertapengangkatannyaberbedadengan hakim
padaumumnya.Keberadaan hakim ad hoc
diperlukankarenakeahliannyasejalandengankompleksitasperkaratindakpidanakorupsi,
baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian,
maupunluasnyacakupantindakpidanakorupsi yang antara lain di
bidangkeuangandanperbankan, perpajakan, pasar modal ,
pengadaanbarangdanjasapemerintah.
2.2 GambaranUmumKorupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde
Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan
dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh
Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era OrdeBaru, munculUndang-Undang Nomor3
Tahun 1971 dengan
“OperasiTertib”yangdilakukanKomandoOperasiPemulihanKeamanandanKetertiban
(Kopkamtib), namundengankemajuaniptek, modus operandi
korupsisemakincanggihdanrumitsehinggaUndang-Undangtersebutgagaldilaksanakan.
SelanjutnyadikeluarkankembaliUndang-UndangNomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upayahukum yang
telahdilakukanpemerintahsebenarnyasudahcukupbanyakdansistematis.Namunkorupsi di
Indonesia semakinbanyaksejakakhir 1997 saatnegaramengalamikrisispolitik,
sosial, kepemimpinan, dankepercayaan yang
padaakhirnyamenjadikrisismultidimensi. Gerakan
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya
supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999
& Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang
Bersih & Bebas dari KKN.
2.3 PersepsiMasyarakattentangKorupsi
Rakyat kecil yang
tidakmemilikialatpemukulgunamelakukankoreksidanmemberikansanksipadaumumnyabersikapacuhtakacuh.Namun
yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin
meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun
nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi
permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat
adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran
kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup
berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap
perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin
berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem
pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.
2.4 Fenomena Korupsi di Indonesia
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara
berkembang contohnya Indonesia ialah:
1. Proses
modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
2. Institusi-institusi
politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut
dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu
muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
4. Mereka
hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai
berikut :
a) Partai
politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
b) Munculpemimpin yang
mengedepankankepentinganpribadidaripadakepenting-an umum.
c) Sebagai
oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
d) Terjadi erosi
loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan
harta dan kekuasaan. Dimulailahpolatingkahparakorup.
e) Sumber
kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat
besar (rakyat).
f) Lembaga-lembaga
politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik
dan ekonomi-bisnis.
g) Kesempatan
korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki
politik kekuasaan.
2.5 Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat
sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk
mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen
yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
a. Membangun
kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
b. Mendorongpemerintahmelakukanreformasi public sector denganmewujudkan good governance.
c. Membangunkepercayaanmasyarakat.
d. Mewujudkan
keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
e. Memacuaparathukumlainuntukmemberantaskorupsi.
2.6 Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam
memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
a. Upayapencegahan
(preventif).
b. Upayapenindakan
(kuratif).
c. Upayaedukasimasyarakat/mahasiswa.
d. Upayaedukasi LSM
(LembagaSwadayaMasyarakat).
2.6.1 UpayaPencegahan (Preventif)
a.
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal,
informal dan agama.
b.
Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip
keterampilan teknis.
c.
Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana
dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d.
Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai
dan ada jaminan masa tua.
e.
Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin
kerja yang tinggi.
f.
Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki
tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g.
Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang
mencolok.
h.
Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya.
2.6.2 UpayaPenindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada
mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan
pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapacontohpenindakan
yang dilakukanolehKPK :
a) Dugaan
korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda
NAD (2004).
b) Menahan
Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan
liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan
korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d) Dugaan
penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp
10 milyar lebih (2004).
e) Dugaan
korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipmentdan placement deposito
dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus
korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g) Kasus
penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h) Kasus
penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i) Menetapkan SEOrang bupati di Kalimantan
Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan
negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j) Kasus
korupsi di KBRI Malaysia (2005).
2.6.3 UpayaEdukasiMasyarakat/Mahasiswa
a.
Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b.
Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c.
Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d.
Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e.
Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan
berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat
luas.
2.6.4 Upaya Edukasi LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat)
a.
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalahorganisasi non-pemerintah
yang meng-awasidanmelaporkankepadapublikmengenaikorupsi di Indonesia
danterdiridarisekumpulan orang yang memilikikomitmenuntukmemberantaskorupsi
me-laluiusahapemberdayaanrakyatuntukterlibatmelawanpraktikkorupsi. ICW la-hir
di Jakarta pdtgl 21 Juni 1998 di tengah-tengahgerakanreformasi yang
meng-hendakipemerintahanpasca-Soehartoygbebaskorupsi.
b.
Transparency International (TI) adalah organisasi
internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman
sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun,
Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. SedangkanIslandiaadalahnegaraterbebasdarikorupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
a. Korupsi
adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung
unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
b. Korupsi
di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak
akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
c. Rakyat
kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering
menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.
d. Fenomena
umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelom-pok sosial
baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak
mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pri-badinya dengan
dalih “kepentingan rakyat”.
e. Peran
serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korup-si.
f. Ada beberapaupaya yang
dapatditempuhdlammemberantastindakkorupsi di Indonesia, antaralain
:upayapencegahan (preventif), upayapenindakan (kuratif),
upayaedukasimasyarakat/mahasiswadanupayaedukasi LSM
(LembagaSwada-yaMasyarakat).
3.2 Saran
a) Perlu
dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indo-nesia
agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b) Diharapkan
para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasi-kannya di dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Buku LKS.PendidikanKewarganegaraanKelasX.a
http://wawasanfadhitya.blogspot.com/2012/08/upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html