Kamis, 09 Mei 2013

KORUPSI DI INDONESIA


KORUPSI DI INDONESIA
Abstrak
 Korupsi merupakan permasalahan budaya di Indonesia. Komunikasi politik diIndonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik korupsi. Bentuk komunikasipolitik yang berkonteks tinggi, penekanan pada hubungan personal dari padasubstansi, dan dominasi kelisanan atas literasi menjadi katalisator bagi praktik korupsi. Bentuk komunikasi politik ini dapat dilacak kembali dari kesejarahanbangsa Indonesia.Makalah ini bertujuan untuk memetakan kesejarahan komunikasi politik diIndonesia dalam relasinya dengan praktik korupsi. Arkeologi pengetahuan terhadappraktik dan wacana komunikasi politik pada kesejarahan di Indonesia digunakansebagai metode dalam menyingkapkan lapisan-lapisan pengetahuan dan kuasa yangmembentuk subjek koruptor di Indonesia. Wacana pemerintahan dari catatankesejarahan prakolonial, kolonial, hingga lahirnya Negara modern Indonesiamerupakan data utama dalam makalah ini.Dari hasil analisis kesejarahan, bentuk kepemerintahan patrimonial prebendalismeyang kontinu dalam kesejarahan Indonesia hingga saat ini merupakan dasar bagipraktik korupsi. Pemahaman upeti, hadiah, dan tanda loyalitas menjadi kaburbatasannya dalam praktik pemerintahan dan politik modern yang menyebabkanlahirnya praktik-praktik korupsi. Hal ini ditambah dengan bentuk komunikasipolitik yang lebih mengutamakan relasi personal dari pada prinsip birokrasimodern yang tidak humanis. Kerangka budaya lisan juga berkontribusi dalampraktik korupsi modern di Indonesia dalam perspektif komunikasi politik.
BAB I
PENDAHULUAN
  
1.1  LatarBelakangMasalah
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
1.2  RumusanMasalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang kami angkat adalah sebagai berikut :
a)     Apa yang dimaksud dengan korupsi?
b)  Apasajakah Bentuk, jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, dampak serta langkah-langkah pemeberantasan korupsi?
c)     Bagaimana gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ?
d)     Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi ?
e)     Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
f)      Bagaimana peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi ?
g)     Upaya apa yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi ?

1.3  Tujuan
Adapuntujuandapipenyusunanmakalahiniadalahsebagaiberikut :
a)     Mengetahuipengertiandarikorupsi.
b) Mengetahui Bentuk, jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, dampak serta langkah-langkah pemeberantasan korupsi
c)     Mengetahui gambaran umum tentang korupsi yang ada di Indonesia.
d)     Mengetahui persepsi masyarakat tentang korupsi.
e)     Mengetahui fenomena korupsi di Indonesia.
f)      Mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
g)     Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.


1.4 Landasan Teori
Dalam melihat hubungan antara korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini, akan dibahas pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.
  1. Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
  1. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)
Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh  kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
  1. White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.
Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7)
Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-          Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-          Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-          Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-          Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)
-          Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,. Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-          Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
-          Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-          Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan obat-obatan;
-          White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28)
Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
  1. Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku  yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)
Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid., h.44)
  1. Differential Association.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku menyimpang.
Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi
3)      Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4)      Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)      Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)      Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7)      Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)      Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9)      Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 PengertianKorupsi
Korupsiberasaldaribahasalatin corruption yaitudari kata kerjacorrumpere yang bermaknabusuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.secarahaflah, korupsidiartikansebagaiperilakupejabatpublik, baikpolitikus/politisimaupunpegawinegeri, yang secaratidakwajardantidak legal memeperkayadiriataumemperkayamereka yang dekatdengannya, denganmenyalahguakanpublik yang dipercayakankepadamereka.
1.      Bentukdanjeniskorupsi
MochtarLubismembedakankorupsidalamtigajenisyaitusebagaiberikut
a.       Penyuapan, apabilaseorangpengusahamenawarkanuangataujasa lain kepadaseseorangatauaparatnegarauntuksuatujasabagipemberiuang
b.      Pemerasan, apabila orang yang memegangkekuasaanmenuntutmembayaruangataujasa lain sebagaigantiatasimbalbalikfasilitas yang diberikan.
c.       Pencurian, apabila orang yang berkuasamenyalahgunakankekuasaandanmencurihartarakyat, langsungatautidaklangsung.
Adapun Syed Hussein Alatasmenyebutkantigatipefenomenadalamkorupsiyaitupenyuapan, pemerasandannepotisme.

2.      Ciri-ciriKorupsi
Menurut Syed Hussein Alatas, ciri-cirikorupsiadalahsebagaiberikut.
a.       Korupsisenantiasamelibatkanlebihdaisatu orang
b.      Korupsipadaumumnyamelibatkankeserbarahasiaan.
c.       Korupsimelibatkanelemenkewajibandankeuntungantimbalbalik.
d.      Mereka yang mempraktikkancara-carakorupsibiasanyaberusahamenyelubungiperbuatannyadenganberlindungdibalikpembenaranhukum.
e.       Mereka yang terlibatkorupsiadalahmereka yang menginginkankeputusan-keputusan yang tegasdanmereka yang mampuuntukmemengaruhikeputusan-keputusanitu.
f.        Setiaptindakankorupsimengandungpenipuan, biasanyapadabadanpublikataumasyarakatumum.
g.       Setiapbentukkorupsiadalahsuatupenghianatankepercayaan.
3.      Sebab-sebabKorupsi
Menurut Syed Hussein Alatasantaralain :
a.       Kelangkaanlingkungan yang suburuntukperilakuantikorupsi
b.      Kemiskinan
c.       Kurangnyapendidikan
d.      Tiadanyatindakhukum yang tegas
e.       Strukturpemerintah
f.        Perubahanradikal
g.       Kelemahanpengajaran-pengajaran agama danetika
h.       Keadaanmasyarakat.

4.      DampakKorupsi
BidangKehidupan
DampakKorupsi
Hukum
a.   Sistemhukumtidaklagiberdasarkanpadaprinsip-prinsipkeadailanhukum
b.   Besarnyapeluangeksekutifmencampuribadanperadilan.
c.   Hilangnyakepastianhukumdan rasa keadilanmasyarakat
d.   Sistemhukumdanperadilandapatdikendalikandenganuang
e.   Hilangnyaperlindunganhukumterhadaprakyatterutamarakyatmiskin
f.     Peradilandankepastianhukummenjadibertele-telekarenadisalahgunakanolehaparatpenegakhukum.
Politik
a.   Terpusatnyakekuasaanpadapejabatnegaratertentu (pemeritahpusat)
b.   Daerah danpemerintahdaerahsangatbergantungpadapemerintahpusat.
c.   Lemahnyasikapdanmoralitasparapenyelenggaranegara
d.   Terhambatnyakaderisasidanpengembangansumberdayamanusiaindonesia.
e.   Terjadinyaketidakstabilanpolitikkarenarakyattidakpercayaterhadappemerintah.
f.     Diabaikannyapembangunannasionalkarenapenyelenggaranegaradisibukkandenganmembuatkebijakanpopilisbukanrealistis.
Ekonomi
a.   Pembangunan dansumber-sumberekonomidikuasai orang yang berada di lingkarankekuasaan.
b.   Munculnyaparapengusaha yang mengandalkankebijakanpemerintahbukanberdasarkankemandirian.
c.   Rapuhnyadasarekonominasionalkarenapertumbuhanekonomibukandidasarkanpadakondisisebenarnya
d.   Munculnyaparakonglomerat yang tidakmemiliki basis ekonomikerakyatan.
e.   Munculnyaspekulanekonomi yang menjatuhkanekonomisecarakeseluruhan
f.     Hilangnyanilaimoralitasdalamberusaha, yakniditerapkannyasistemekonomikapitalis yang sangatmerugikanpengusahamenengahdankecil.
g.   Terjadinyatindakpencucianuang  
SosialBudaya
a.       Hilangnyanilai-nilai moral sosial
b.      Hilangnyafigurpemimpindancontohteladandalamkehidupanberbangsadanbernegara
c.       Berkurangnyatindakanmenjunjungtinggihukum, berkurangnyakepeduliandankesetiakawanan
d.      Lunturnyanilai-nilaibudayabangsa.

5.      Langkah-langkahPemberantasanKorupsi
Upaya yang dapatdilakukandenganlangkah-langkah :
a.       Pemberlakuanberbagai UU yang mempersempitpeluangkorupsi
b.      Pembentukanberbagailembaga yang diperlukanuntukmencegahkorupsi
c.       Pelaksanaansistemrekruitmenaparatsecaraadildanterbuka
d.      Peningkatankualitaskerjaberbagailembagaindependenmasyarakatuntukmemantaukinerjaparapenyelenggaranegara
e.       Pemberiangajidankesejahteraanpegawai yang memadai.

Cara yang kedua yang ditempuhuntukmenindaklanjutikorupsiadalah :
a.       Pemberianhukumsecarasosialdalambentukisolasikepadaparakoruptor
b.      Penndakansecarategasdankonsistenterhadapsetiapaparathukum yang bersikaptidaktegasdanmeloloskankoruptordarijerathukum
c.       Penindakansecarategastanpadiskriminasisesuaidenganperaturanperundang-undangan yang berlakuterhadapparapelakukorupsi
d.      Memberikantekananlangsungkepadapemerintahdanlembaga-lembagapenegakhukumuntuksegeramemprosessecarahukumparapelakukorupsi.

Salah satulangkahnyatadalamupayapemberantasankorupsisecararepresifadalahdenganditetapkannya UU No. 46 Tahun 2003 tentangPengendalianTindakPidanaKorupsi.Hakim dalampengadilantindakPidanaKorupsiterdiridari hakim ad hoc yang persyaratandanpemilihansertapengangkatannyaberbedadengan hakim padaumumnya.Keberadaan hakim ad hoc diperlukankarenakeahliannyasejalandengankompleksitasperkaratindakpidanakorupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupunluasnyacakupantindakpidanakorupsi yang antara lain di bidangkeuangandanperbankan, perpajakan, pasar modal , pengadaanbarangdanjasapemerintah.

2.2 GambaranUmumKorupsi di Indonesia

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.

Pada era OrdeBaru, munculUndang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “OperasiTertib”yangdilakukanKomandoOperasiPemulihanKeamanandanKetertiban (Kopkamtib), namundengankemajuaniptek, modus operandi korupsisemakincanggihdanrumitsehinggaUndang-Undangtersebutgagaldilaksanakan. SelanjutnyadikeluarkankembaliUndang-UndangNomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upayahukum yang telahdilakukanpemerintahsebenarnyasudahcukupbanyakdansistematis.Namunkorupsi di Indonesia semakinbanyaksejakakhir 1997 saatnegaramengalamikrisispolitik, sosial, kepemimpinan, dankepercayaan yang padaakhirnyamenjadikrisismultidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.


2.3 PersepsiMasyarakattentangKorupsi

Rakyat kecil yang tidakmemilikialatpemukulgunamelakukankoreksidanmemberikansanksipadaumumnyabersikapacuhtakacuh.Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara  menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.

2.4 Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:
1.      Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.
2.      Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3.      Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.
4.      Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
a)     Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
b)     Munculpemimpin yang mengedepankankepentinganpribadidaripadakepenting-an umum.
c)     Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
d)     Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailahpolatingkahparakorup.
e)     Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
f)      Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.
g)     Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.

2.5 Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.

KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
a.       Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
b.      Mendorongpemerintahmelakukanreformasi public sector denganmewujudkan good governance.
c.       Membangunkepercayaanmasyarakat.
d.      Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
e.       Memacuaparathukumlainuntukmemberantaskorupsi.


2.6 Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
a.       Upayapencegahan (preventif).
b.      Upayapenindakan (kuratif).
c.       Upayaedukasimasyarakat/mahasiswa.
d.      Upayaedukasi LSM (LembagaSwadayaMasyarakat).

2.6.1 UpayaPencegahan (Preventif)
a.       Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b.      Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c.       Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d.      Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e.       Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f.       Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g.       Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h.      Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2.6.2 UpayaPenindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapacontohpenindakan yang dilakukanolehKPK :
a)      Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b)      Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c)      Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d)      Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e)      Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipmentdan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f)        Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g)      Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h)      Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i)        Menetapkan SEOrang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j)        Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).

2.6.3 UpayaEdukasiMasyarakat/Mahasiswa
a.       Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b.      Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c.       Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d.      Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e.       Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

2.6.4 Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
a.       Indonesia Corruption Watch (ICW) adalahorganisasi non-pemerintah yang meng-awasidanmelaporkankepadapublikmengenaikorupsi di Indonesia danterdiridarisekumpulan orang yang memilikikomitmenuntukmemberantaskorupsi me-laluiusahapemberdayaanrakyatuntukterlibatmelawanpraktikkorupsi. ICW la-hir di Jakarta pdtgl 21 Juni 1998 di tengah-tengahgerakanreformasi yang meng-hendakipemerintahanpasca-Soehartoygbebaskorupsi.
b.      Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. SedangkanIslandiaadalahnegaraterbebasdarikorupsi.













BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.       Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
b.       Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
c.       Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.
d.       Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelom-pok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pri-badinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
e.       Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korup-si.
f.         Ada beberapaupaya yang dapatditempuhdlammemberantastindakkorupsi di Indonesia, antaralain :upayapencegahan (preventif), upayapenindakan (kuratif), upayaedukasimasyarakat/mahasiswadanupayaedukasi LSM (LembagaSwada-yaMasyarakat).

3.2 Saran
a)      Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indo-nesia agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b)      Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasi-kannya di dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA


Buku LKS.PendidikanKewarganegaraanKelasX.a
http://wawasanfadhitya.blogspot.com/2012/08/upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html